Penulis : Bayu Angger Pamungkas
Semua anak ingin mempunyai keluarga yang utuh dan harmonis. Apalagi jika anak itu terlahir menjadi bungsu di keluarganya. Seperti aku, menjadi anak bungsu laki-laki di keluargaku dan berharap bisa terus bersama sampai kapanpun. Tapi sayangnya, aku malah merasa menjadi tumbal perceraian orangtua.
Anak Bungsu Dipaksa Dewasa
Akibat dari perceraian orangtua mengharuskan aku dan anak-anak bungsu lainnya untuk mulai bersikap dewasa sebelum waktunya. Padahal, untuk anak seumuran ku yang seharusnya masih butuh bimbingan dan kasih sayang orangtua, malah dipaksa untuk bisa mandiri dalam segala hal. Sedikit repot, karena apa-apa harus sendiri; mau membuat KTP untuk pertama kalinya saja, aku harus bertanya kepada orang lain, bukan kepada orangtuaku sendiri. Hadehh! Belum lagi untuk menjalani masa peralihanku dari remaja menuju dewasa, di mana anak-anak pada umumnya mendapat bimbingan dari orangtuanya tentang hal-hal yang akan ditemui atau dilakukan ketika dewasa, aku malah bingung harus apa ketika dihadapkan dengan hal-hal yang aku belum ketahui sebelumnya.
Anak Dibuat Bingung Mau Ikut Bapaknya atau Ibunya
Sebagai anak bungsu, hal yang paling menjengkelkan menurutku adalah ketika ditanya ingin ikut dengan bapak atau ibuku. Ketika aku menjawab ingin ikut dengan bapak, pasti ibu akan merasakan sakit hati karena anaknya lebih memilih bapaknya daripada ibu yang mengandungnya. Bapak pun akan merasakan hal yang sama, ketika aku lebih memilih ibu ketimbang bapakku yang selalu memberikan apa yang menjadi keinginan anaknya. Pertanyaan yang sulit, bak memakan buah simalakama, cuy!
Anak Bungsu Harus Lebih Baik dari Kakaknya
Satu hal lagi yang membuat aku dan anak bungsu lainnya seakan-akan menjadi tumbal perceraian orangtua adalah ketika kami dituntut harus lebih baik daripada saudara yang lainnya. Lah, kok bisa? Harapan terakhir keluarga adalah cap permanen yang dianugerahkan orangtua kepada anak terakhirnya. Orangtua menganggap bahwa anak bungsunya bisa lebih baik daripada kakaknya, bahkan orangtua mereka sendiri. Hal ini yang menjadikanku merasa seperti menjadi tonggak kesuksesan keluarga, padahal nyatanya menjadi bungsu di tengah keluarga yang sudah amburadul itu tidak gampang, di mana aku harus memendam ekspektasi ku sendiri dan harus memenuhi ekspektasi keluarga ku yang berharap besar kepadaku, anak bungsu mereka.
Pernikahan Menjadi Ketakutan Terbesar Anak
Hal tersadis yang dirasakan seorang anak bungsu ketika dewasa nanti adalah takut dengan pernikahan. Momen yang di mana semua orang idamkan malah menjadi ketakutan tersendiri bagi seorang anak bungsu. Bagaimana tidak, orangtuanya saja yang menjadi cermin kehidupan anaknya tidak lulus dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka, lantas bagaimana nanti dengan nasib pernikahan anaknya? Apa bisa berjalan mulus, sedangkan orangtuanya saja putus di tengah jalan? Mikir dong! Jangan karena orangtua gagal dalam berumah tangga, malah anak bungsu yang dijadikan tumbal tak berdosa selanjutnya. Memang menjadi anak bungsu itu terkadang memiliki keuntungannya sendiri, karena orangtua melebihkan porsi sayangnya ke anak terakhir mereka. Tapi itu semua hanya omong kosong ketika anak bungsu lebih dahulu merasakan menjadi tumbal perceraian orangtua nya. Kalau disuruh memilih, aku ingin hidup di tengah keluarga yang sampai kapanpun perpisahan tidak ada di dalamnya, kecuali karena maut yang memisahkan. Tapi sudah terlanjur hidup, toh mau diapakan lagi? Ya, dilakoni saja lah ya. Sekian, terima kasih.
Hidup anak bungsu!!!