Rabu, November 6, 2024
No menu items!
spot_img
BerandaPENGETAHUANFIKIHKonsisten dalam bermadzhab atau tidak?

Konsisten dalam bermadzhab atau tidak?

Oleh : Royhanul Basith (Kader PMII ISTNUBA) & Noval

بسم الله الرحمن الرحيم

Ada penegasan dari mayoritas ulama’ bahwa taklid merupakan pilihan satu satunya bagi orang yang belum mencapai tingkat mujtahid. Dengan demikian, maka orang awam harus merujuk pada pendapat mujtahid dalam melaksanakan tuntunan syari’at. Dalam perujukannya, dia harus memilih seorang figur mujtahid yang hendak dijadikan sebagai panutan. Dengan demikian, berarti setiap orang yang belum mencapai tingkat mujtahid haruslah bermadzhab.
Lalu, setelah seorang muqallid sudah menjatuhkan pilihannya untuk mengikuti madzhab tertentu, apakah ia harus konsisten dengan madzhab tersebut dalam menyikapi semua permasalahan? Mengenai hal ini sebenarnya masih ada ikhtilaf (perbedaan pendapat).
Pertama, wajib konsisten dalam berpegangan pada suatu madzhab dalam sebuah persoalan. Pendapat ini dilandasi oleh argumen bahwa ketika seorang muqallid sudah memilih madzhab tertentu, berarti telah meyakini kebenaran madzhab tersebut. Maka dia wajib memegang sesuatu yang dianggapnya benar.
Kedua, tidak wajib konsisten pada madzhab tertentu. Sehingga ketika muqallid sudah menjatuhkan pilihannya pada madzhab tertentu, sah-sah saja ia berpindah dari madzhab tersebut pada madzhab yang lain, dengan tetap memegang aturan main yang ditetapkan oleh ulama. Pendapat inilah yang kemudian di Tarjih oleh Imam Ibnu Burhan dan Imam an-Nawawi. Argumentasinya sebagaimana berikut :
(1) tidak ada kewajiban lain kecuali apa yang sudah dibebankan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini Allah hanya menyerukan untuk mengikuti ulama tanpa menentukan personalnya. Seperti difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ۞

“Dan Aku tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Aku beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
(An Nahl 16:43)

Karenanya, kesanggupan seseorang untuk mengikuti madzhab imam tertentu tidak dapat membuatnya terikat pada semua produk ijtihad imam tersebut.
(2) Sejarah menunjukkan bahwa para peminta fatwa di era sahabat tidak selalu konsisten bertanya kepada satu sahabat tertentu. Mereka sudah terbiasa meminta fatwa kepada siapa saja yang bersedia. Fakta ini berjalan tanpa ada satupun sahabat yang mengingkari.
(3) Keharusan konsisten pada madzhab tertentu akan berimbas mempersempit dan menyulitkan umat. Padahal perselisihan ulama (dalam hal furu’ Syariat) adalah sebuah nikmat dan rahmat bagi umat. Seperti pada sabda Rasulullah ﷺ

إختلاف أمتي رحمة رواه البيهقي

“Perbedaan umatku adalah rahmat (H.R al-Baihaqi)”.

Hadist ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dari Qasim bin Muhammad dari riwayat Sulaiman bin Abi Karimah dari Juwaibir bin Dlahhak dari Ibnu Abbas yang meriwayatkan dari Rasulullah ﷺ. Dalam sanad hadist ini terdapat kelemahan, yaitu salah seorang perawi lemah, ditambah mata rantai sanad yang terputus antara Dlahhak dan Ibnu Abbas. Namun demikian, sebagaimana komentar Ibnu Hajar, hadist ini sangat populer sehingga sering sekali ditampilkan tanpa sanad. Imam Suyuthi berpendapat bahwa mereka, barangkali hadist ini pernah ditampilkan dalam beberapa karya ahli hadist yang belum sampai pada kita.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata kepada muridnya, “Jangan engkau pernah memaksa orang-orang untuk mengikuti madzhabmu. Biarkan mereka mengikuti pendapat-pendapat yang lain agar tidak merasa sempit dalam hidupnya.”
Di lain waktu, Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya oleh seseorang tentang kasus talak, beliau menjawab “Talaknya sah!”. Orang itu kembali bertanya : “Jika ada ulama yang mengatakan bahwa talaknya tidak terjadi?” Imam Ahmad menjawab : “Silahkan untuk diamalkan karena orang-orang terdahulu tidak selalu konsisten dalam bermadzhab”.
Contoh lain yang dapat dikemukakan adalah bahwa suatu ketika Qadhi Abu Ashim al-Amiri, seorang ulama’ pengikut madzhab Hanafi, memberi fatwa di depan pintu Masjid Imam al-Qaffal. Setelah azan dikumandangkan, ia segera masuk ke dalam masjid . Ketika Imam al-Qaffal yang notabene pengikut madzhab Syafi’i mengetahui kehadiran Qadhi Abu Ashim al-Amiri di masjid itu, ia segera mempersilahkan Qadhi Abu Ashim al-Amiri untuk bertindak menjadi imam. Qadhi Abu Ashim pun akhirnya maju untuk menjadi imam. Ternyata dalam shalatnya, Qadhi Abu Ashim membaca basmalah dan mengeraskan suaranya, serta melakukan shalat layaknya shalat pengikut madzhab Syafi’i. Padahal ia dikenal sebagai ulama Hanafiyyah. Berdasarkan contoh diatas, mengamalkan pendapat seorang imam tidaklah menjadikan seseorang terikat pada semua pendapat madzhabnya.
Cerita serupa juga suatu ketika, tatkala iqamah salat jumu’ah sudah dikumandangkan, Qadhi Abu Thayyib yang hendak melakukan takbiratul ihram tiba-tiba kejatuhan kotoran burung. Beliau spontan saja berkata : “Aku pengikut madzhab Hanbali” lalu beliau melakukan shalat. Padahal Qadhi Abu Thayyib adalah pengikut madzhab Syafi’i yang berpendapat kotoran burung adalah najis. Madzhab Syafi’i yang beliau pegang selama ini tidak menghalanginya untuk berpindah pada pendapat yang lain. Ini merupakan contoh taklid terhadap selain madzhabnya (dengan tanda kutip) karena ada hajat.

Kesimpulan dari penjelasan diatas, hendaknya kita, khususnya saya sendiri untuk melonggarkan pendapat-pendapat hal furu’iyyah. Jangan sampai hanya karena hal furu’iyyah kita berpecah belah layaknya musuh. Tentu ini beda pembahasan dengan ushuliyyah. Perlunya hujjah yang membangun hal ushul, agar tidak salah dalam memahaminya.

Wallahu A’lam

Referensi :

  • Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Kitab Irsyadul-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilmil-Ushul.
  • Syeikh Wahbah az-Zuhaili, Kitab Ushulul-fiqh al-Islami.
  • Tajuddin as-Subki, Kitab Jam’ul-Jawami’
  • Hasan bin Muhammad bin Mahmud al-Atthar, Kitab Hasyiyyah ‘ala Syarh al-Jalal al-Mahalli ‘ala Jam’il-Jawami’.
  • Syihabuddin Ahmad bin Ahmad ar-Ramli, Kitab Fatawa ar-Ramli.
  • Muhammad Amir bin Umar (Ibn ‘Abidin), Kitab Raddul-Mukhtar.
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Most Popular

Recent Comments