Antara Angan-Angan dan Realitas
Ada saat di mana aku berhenti sejenak. Bukan karena lelah, tapi karena sadar: aku terlalu banyak berangan-angan dan terlalu sedikit bergerak.
Dalam pikiranku, aku sering membayangkan versi terbaik dari diriku. Disiplin. Produktif. Penuh manfaat bagi orang lain. Tapi realitasnya, hari-hariku dipenuhi dengan penundaan. Ada satu kata yang terlalu sering muncul: “nanti.”
“Nanti aku berubah.”
“Nanti aku mulai.”
“Nanti aku lebih baik.”
Kenyamanan membayangkan masa depan ternyata membuatku terjebak dalam satu kondisi spiritual yang disebut oleh para ulama sebagai tulul amal — panjang angan-angan yang membuatku lalai terhadap kematian dan akhirat.
Ketika Kritik Diri Menyentuh Hati
Aku mulai bertanya pada diriku sendiri:
“Apakah aku benar-benar ingin berubah, atau aku hanya menikmati sensasi membayangkan perubahan?”
Pertanyaan ini menyakitkan, tapi jujur. Ia muncul bukan karena aku membenci diri sendiri, melainkan karena ada suara lembut dari dalam hati yang sudah lama aku abaikan. Suara itu berkata: “Berhentilah menipu diri.”
Mengkritik diri sendiri bukan berarti menjatuhkan diri. Justru itu bisa jadi bukti bahwa hatiku belum mati. Bahwa aku masih ingin hidup lebih baik, lebih bermakna, dan lebih jujur.
Dari Kesadaran Menuju Perubahan: Be Proactive
Namun aku sadar, kesadaran saja tidak cukup. Penyesalan dan niat baik tidak akan mengubah apa pun jika tidak disertai tindakan nyata.
Di sinilah aku teringat habit pertama dari Stephen R. Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective People: Be Proactive.
Menjadi proaktif artinya mengambil tanggung jawab penuh atas hidup kita. Tidak menyalahkan kondisi, masa lalu, atau perasaan.
Proaktif berarti berhenti menunggu. Tidak menunggu mood, tidak menunggu dukungan, tidak menunggu waktu yang “sempurna”.
Aku mulai melatih diri untuk bertanya:
Apa yang bisa aku lakukan hari ini, meskipun kecil, untuk bergerak ke arah yang lebih baik?
Apa hal sederhana yang aku bisa kendalikan, daripada sibuk memikirkan hal-hal yang di luar kuasa?
Kembali ke Arah yang Benar
Perubahan tidak harus besar dan dramatis. Kadang cukup satu keputusan kecil untuk tidak lagi menunda.
Kadang cukup satu langkah nyata untuk melawan tulul amal, dan berkata: “Hari ini, aku mulai.”
Aku belajar bahwa menjadi proaktif bukan tentang menjadi sempurna. Tapi tentang berani bertindak walau takut, walau malas, walau ragu.
Dan mungkin, memilih untuk bertanggung jawab penuh atas hidupku sendiri adalah bentuk cinta terbaik yang bisa aku berikan untuk diriku sendiri.
Penutup: Dari Kritik Menjadi Arah
Kini, aku mulai percaya bahwa kritik diri yang sehat bukanlah akhir dari perjalanan, tapi pintu gerbang menuju perubahan.
Saat aku berhenti tenggelam dalam angan-angan, dan mulai memilih untuk hidup dalam tindakan nyata, di situlah proses pertumbuhanku yang sebenarnya dimulai.
Karena masa depan yang aku bayangkan tidak akan pernah datang… kecuali aku mulai menghidupkannya hari ini.
✍️ Tentang Penulis
Adalah seorang pegiat refleksi dan pembelajar seumur hidup yang sedang berusaha berdamai dengan diri, waktu, dan realitas. Tertarik pada tema spiritualitas, pengembangan diri, dan dinamika komunitas. Bisa ditemui dalam pikiran-pikiran kecil yang tertulis — sembari terus berusaha menulis ulang hidupnya dengan sadar.
Apakah kamu juga pernah merasa terjebak dalam tulul amal atau penundaan yang tak kunjung usai? Bagaimana kamu menghadapinya?
Silakan tulis di kolom komentar, atau bagikan artikel ini ke teman-temanmu yang sedang berjuang menemukan arah.